Selasa, 09 September 2008

MENCARI SECERCAH KEPEDULIAN DI SEJUKNYA RAMADHAN

Siang ini suasana di dalam gerbong kereta tampak terasa lengang, maklum pada waktu-waktu seperti ini banyak orang yang enggan keluar rumah, selain memang masih waktunya tidur siang bagi yang suka tidur siang, juga di dukung oleh cuaca yang terasa begitu panas. Waktu siang di bulan Ramadhan seperti ini, biasanya banyak yang memanfaatkannya untuk tidur siang, karena memang tidurnya orang yang sedang berpuasa dinilai ibadah. Suatu fakta yang seharusnya di lihat dari sudut pandang yang berbeda. Orang yang sedang tidur saja dinilai ibadah, apalagi orang yang melakukan ibadah atau amal baik lainnya, pasti nilainya berlipat-lipat dari nilai ibadah. Ahh.. beruntunglah orang-orang yang bisa memaknai Ramadhan dengan amalan-amalan yang baik.

Kereta ini masih terlihat sepi, walaupun sudah tidak ada lagi tempat duduk yang tersedia. “Tooott..!!” tiba-tiba terdengar suara sirine kereta api berbunyi, berarti sebentar lagi kereta ini akan berjalan lagi menuju stasiun berikutnya. Kujulurkan sedikit kepalaku kearah jendela, “Oh, baru stasiun Juanda..” gumamku. Perjalanan Jakarta – Bogor pada waktu-waktu seperti ini biasanya tidak terlalu lama, karena jarang ada kereta menuju Jawa Tengah atau Jawa Timur yang melewati lintasan. Sejenak kulemparkan pandangan ke setiap sudut gerbong kereta. Seperti biasanya, dalam suasana libur kerja seperti ini lebih banyak terlihat rombongan-rombongan keluarga yang sedang melakukan perjalanan. Seperti rombongan keluarga yang berdiri di sampingku sejak di stasiun Juanda tadi. Lewat sudut mataku, satu persatu kuperhatikan rombongan ini. Dua orang laki-laki dewasa, dua orang wanita dewasa dan satu orang anak-anak. Sepertinya mereka bersaudara, dua keluarga, keluarga yang satu sudah memiliki anak 1 dan yang lainnya belum memiliki anak. Mereka terlihat kerepotan dengan barang bawaan mereka. Apalagi salah seorang dari wanita dewasa itu tampak terlihat kelelahan membawa beban di perutnya. “Sepertinya sedang hamil..” pikirku. Perlahan mulai timbul rasa iba di benakku, tapi tidak ada tempat duduk yang bisa kuberikan. “Ahh..pasti ada yg memberikan tempat duduk nanti di dua atau tiga stasiun berikutnya..”gumamku.

Sejenak kembali kunikmati perjalanan ini, lantunan lagu PUSPA milik grup musik ST12 mengiringi perjalananku kali ini. Memang lagu ini sedang tenar, tak heran para pengamen KRL begitu semangat menyanyikan lagu ini. Sambil bersenandung tak sengaja kuikuti lantunan iramanya. Biasanya saat Ramadhan seperti ini banyak pengamen yang membawakan lagu-lagu religi, mulai lagu Raihan, Opick sampai lagu religinya Ungu. Tapi sampai di stasiun Lenteng Agung ini belum juga kujumpai lagi pengamen dengan lagu religinya. Andaikan boleh request, pasti langsung kuminta mereka menyanyikan nasyid favoritku, TEKAD dari Izzatul Islam.

Kembali kulemparkan pandangan ke sekelilingku. Ibu hamil yang berdiri disampingku belum juga mendapatkan tempat duduk. Kucari di sekelilingku barangkali ada tempat duduk kosong. Muka ibu itu mulai terlihat pucat, mungkin kelelahan. Memang tidak ada ketentuan tertulis di kereta ini bahwa ibu hamil, orang tua dan orang sakit harus didahulukan. Biasanya ketentuan seperti itu ada di kereta Pakuan Ekspress, walaupun terkadang penumpang juga tidak mematuhinya. Saat ini penumpang yang duduk disekitar ibu hamil ini memang semuanya wanita. Tapi.. agak ke pojok sana kulihat laki-laki yang cukup gagah sedang asyik menikmati tempat duduknya. Kulihat disebelahnya, seorang wanita berbaju merah, tampaknya seperti istrinya. Beberapa kali ibu hamil ini melihat ke arah laki-laki itu, seakan berharap akan kebaikan hatinya untuk memberikan tempat duduknya. Kuperhatikan laki-laki itu, dia selalu membuang muka saat ibu hamil ini memperhatikannya. Aku mulai ber su’uzhon, betapa egoisnya laki-laki ini, padahal kulihat wanita berbaju merah yang duduk disampingnya, yang juga merupakan istrinya terlihat sedang hamil. ”Harusnya dia lebih mengerti bagaimana kondisi seorang wanita hamil..” hatiku mulai mengungkapkan kekesalanku, maklum istriku sedang hamil. ”Astaghfirullohal Azhiim” gumamku. Aku harus beristighfar atas semua prasangka burukku. Barangkali ada alasan lain kenapa laki-laki itu belum mau memberikan tempat duduknya.

”Brak..Bruk..” Tiba-tiba terdengar suara gaduh. ”Copet..copet..copet..” wanita berbaju merah berdiri sambil memegangi lehernya. Terlihat seorang laki-laki berbaju kumal melompat dari kereta seiring sirine tanda keberangkatan kereta menuju stasiun Depok Baru. Wanita berbaju merah terlihat menangis bersamaan dengan senyum kemenangan seorang pria yang telah berhasil melompat ke peron dengan seuntai kalung emas ditangannya.

Ya Allah jadikan aku sebagai hamba yang pandai mengambil hikmah dari setiap episode kehidupan ini..

Senin, 01 September 2008

Mbok Sum..

Mbok Sum.. begitu kita biasa memanggilnya. Nama aslinya Sumiarsih. Secara fisik, Mbok Sum jelas sangat berbeda dengan Sumiarsih yang akhir-akhir ini wajahnya sering muncul di televisi. Mbok Sum berperawakan kecil, kulitnya hitam, rambutnya hampir semuanya sudah memutih. Jika ditanya usia, ia sendiri tidak tahu kapan ia lahir, tapi di KTP nya tercantum tahun 1944. Berarti kira-kira Mbok Sum berusia 64 Tahun. Di usia nya yang sudah cukup tua itu, tak membuatnya menjadi lemah menjalani hidup. Setiap pagi ia kayuh sepeda tuanya menuju pasar. Jarak yang ditempuhnya bukanlah jarak yang singkat, kira-kira 15 km jarak pasar tradisional terdekat dari rumahnya. Mbok Sum adalah pekerja keras, sejak ditinggal suaminya 15 tahun yang lalu, ia besarkan sendiri anak tunggal nya. Mas Bardi nama anaknya. Kalau tidak salah nama lengkapnya Subardi. Mas Bardi adalah petugas administrasi di kantor Pemda. Kehidupan Mas Bardi tidak jauh dari ibunya, penuh kerja keras dan semangat untuk menjalani hidup.

“Masya Allah.. Le.. Le.. kamu lihat sepeda simbok..??” terdengar suara Mbok Sum sedikit berteriak. Pagi-pagi benar disaat akan berangkat, Mbok Sum mendapati sepeda tua nya tidak ada ditempatnya. Kemungkinan tadi malam ada pencuri yang masuk ke rumah Mbok Sum dan mengambil sepeda tuanya. “Masya Allah, kok ada yang tega ya..” batinku. Tapi Mbok Sum bukan lah orang yang lemah, dia tidak mengeluh akan kejadian ini. Namun pasti yang akan jadi beban pikirannya adalah bagaimana ia akan menjual barang dagangannya ke pasar tradisional tempatnya biasa berdagang. Sepintas kudengar percakapan Mbok Sum dengan anaknya, “Mbok biar saya antar jemput saja ya..” ujar Mas Bardi. Mas Bardi memang memiliki sebuah motor, tapi aku juga heran kenapa pencuri itu tidak mengambil motor Mas Bardi yang jelas lebih mahal harganya, padahal motor Mas Bardi disimpan bersebelahan dengan sepeda Mbok Sum. “Atau mungkin pencuri itu tidak bisa membuka kunci motor Mas Bardi yang dipasang berlapis-lapis ya...” pikirku. Memang yang aku tahu Mbok Sum tidak pernah mengunci sepedanya, karena ia tahu sepedanya adalah sepeda tua yang jarang sekali ada orang yang ingin memiliki sepeda itu. “Ojo le.. biar simbok naek kendaraan umum saja, atau mungkin nanti ada mobil pasar yang bisa simbok tumpangi..” jawab Mbok Sum. “Ndak apa-apalah mbok tak antar saja, pasar itu kan jauh mbok.. nanti biar tak antar pagi-pagi sekali sebelum berangkat kerja..” Mas Bardi setengah memaksa Mbok Sum agar mau diantar sampai ke pasar. “Bukan itu masalahnya, le.. motormu itu kan motor pegawai negeri, motor pemerintah, motor rakyat.. simbok ndak mau kamu pakai motor itu bukan untuk keperluan kerja.. ingat le.. itu amanah..” Mbok Sum menjawab dengan nada agak sedikit keras. “Apa kamu ndak ingat pesan bapak sebelum meninggal dulu..?? Apa kamu ndak inget cerita bapak tentang khalifah Umar..??” ujar Mbok Sum menambahkan pesan-pesannya. Sejenak aku teringat, memang motor Mas Bardi ber plat merah. Dulu Mas Bardi pernah bercerita, kalau ia selain merangkap sebagai petugas administrasi juga terkadang merangkap sebagai seorang kurir, sehingga di berikan kepadanya sebuah motor untuk membantu tugasnya itu, atau lebih tepatnya dipinjamkan menurut Mbok Sum. ”Iya mbok aku ingat.. aku ndak akan lupa semua cerita-cerita bapak tentang khalifah Umar.. aku cuma ndak tega melihat simbok harus naik mobil pasar..” jawab Mas Bardi sambil meneteskan air matanya.

Aku begitu termangu mendengar percakapan mereka, dua orang yang menurutku begitu istimewa. Kehidupan yang sulit tak membuat mereka lupa akan arti sebuah amanah. Aku teringat kisah tentang Khalifah Umar saat menerima tamu di rumahnya. Beliau terbiasa mematikan lampu minyak di rumahnya jika tidak digunakan untuk keperluan pekerjaan negara. Jika ada tamu yang datang ke rumahnya akan ditanyakan keperluannya, keperluan pribadi atau keperluan negara, jika untuk keperluan pribadi maka sang khalifah tak akan menyalakan lampu rumahnya, karena minyak untuk menyalakan lampu rumahnya dibiayai oleh Baitul Mal untuk kepentingan mengurus negara, bukan untuk keperluan pribadinya.

Ah.. hari ini aku mendapat sebuah pelajaran berharga. Bukan dari seorang ulama besar atau dari seorang kyai terhormat, tapi dari seorang penjual sayur berhati mulia yang begitu faham akan arti sebuah amanah. Terimakasih Mbok Sum...

Ya Allah berilah hidayah kepada para pemimpin kami, tunjukan kepada mereka akan arti sebuah amanah...

Terimakasih Bidadari Surgaku..

Seperti telah dimuat dalam eramuslim.com : http://www.eramuslim.com/oase-iman/terimakasih-bidadari-surgaku.htm

Alhamdulillah..

Sesaat setelah kuselesaikan doa-doa dalam shalat malam ku, kuhampiri istriku yang masih terlelap dalam tidurnya. Biasanya saat seperti ini istriku telah menyelesaikan doa-doa malamnya. “Mungkin hari ini hari yang melelahkannya..” pikirku. Kutatap dalam-dalam wajah istriku, tampak semburat kelelahan di wajahnya. Memang beberapa hari ini anak kami selalu rewel di malam hari, karena demam yang menyerangnya. Tapi dibalik kelelahannya, masih kulihat senyum dalam tidurnya. Memang benar nasihat bijak yang sering kudengar, ”Jika kau sedang marah pada seseorang, maka tataplah wajahnya disaat tidur, niscaya kemarahanmu akan sirna”. Malam ini kubuktikan nasehat bijak itu. Menatap wajahnya disaat tidur seperti ini, membuatku sulit untuk mempertahankan kemarahan jika kami sedang berselisih paham.

Sejenak kuteteskan air mataku. Wanita ini begitu sabar mendampingiku, dalam susah dan senang kehidupan keluarga kami. Teringat saat pertama kali kami menikah, pekerjaan yang kujalani saat itu harus ku tinggalkan, karena sesuatu yang menurutku sangat prinsip, menyangkut sistem kerja yang diterapkan di perusahaan tempat ku bekerja. Saat itu usia pernikahan kami baru 3 hari. Dengan sabarnya dia berkata ”Ya, sabar aja bi.. rizki itu kan datangnya dari Allah, lewat jalan apapun juga kalau Allah telah menentukan maka pasti akan sampai juga ke kita..” Hari demi hari yang mungkin menurutku menyulitkannya, dapat dihadapinya dengan sabar. Uang belanja yang tidak seberapa harus bisa dipotong untuk cicilan rumah dan cicilan motor second yang menjadi kebutuhan bagi kami karena posisi rumah kami yang tidak dijangkau kendaraan umum. Tapi hal itu tak membuatnya jadi berhenti berkreasi dalam memasak, dengan bahan seadanya tetap dapat dihasilkan menu masakan yang lezat menurutku. Hingga akhirnya kondisi keuangan keluarga kami mulai membaik seiring hadirnya buah hati kami. Walaupun tetap ada masa sulit yang harus dihadapinya, yaitu kesabarannya harus diuji lagi. Setelah seminggu anakku lahir, istriku harus kehilangan ibunya, menghadap Allah SWT.

Alhamdulillah..

Tak terasa ramadhan tahun ini menjadi ramadhan ketiga dalam pernikahan kami. Kami harus mempersiapkannya lebih baik lagi, banyak target-target ramadhan tahun kemarin yang gagal kami capai. Mungkin karena kami kurang pandai mengatur waktu terutama saat-saat mulai hadirnya jundi kecil kami. Tapi tekad kembali kami kuatkan, bahwa ramadhan tahun ini harus menjadi ramadhan terbaik dalam hidup kami.

Sesaat ku tersentak dan tersadar dari lamunanku. Istriku bangun dari tidurnya, seiring gema puji-pujian di masjid komplek terdengar merdu. Terimakasih istriku.. terimakasih bidadari surgaku.. kau telah merelakan waktumu untuk menua bersamaku.. mendidik anak-anak kita agar tetap selalu memberikan manfaat.. untuk pengembangan umat.

Ya Allah bantu kami.. Jadikan Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terbaik dalam hidup kami.