Jumat, 28 November 2008

SERI PSIKOLOGI PERSUASI ( 4 ) - PRINSIP PEMBUKTIAN SOSIAL


Saat anda mulai membaca artikel ini, anda mulai merasa penasaran akan kelanjutan kisah-kisah penelitian Robert B. Cialdini selanjutnya, dan membuat anda membaca artikel ini sampai selesai. Prinsip keempat yang ditulis Cialdini dalam bukunya yang berjudul The Psychology Influence Of Persuasion adalah apa yang disebut dengan Prinsip Pembuktian Sosial, yang menyatakan bahwa salah satu cara untuk menentukan apa yang bagus adalah dengan menemukan apa yang dianggap bagus oleh orang lain.


Aplikasi prinsip ini yang paling familiar bagi kita adalah diterapkan nya tawa rekaman dalam film-film humor. Suka tidak suka, suara tawa dalam rekaman itu mempengaruhi psikologi kita sebagai audiens. Suara itu bisa mempengaruhi selera humor kita, atau paling tidak menunjukkan kepada kita pada adegan apa waktu yang pantas menurut orang lain untuk tertawa. Pada aplikasi lain, saya pernah menemukan prinsip ini pada para pencari donatur untuk lembaga-lembaga sosial yang berkeliling door to door. Mereka menuliskan beberapa nama donatur pada deretan pertama daftar donatur mereka dan mencantumkan jumlah yang tidak kecil, minimal Rp 20.000,-. Hal ini setidaknya akan mempengaruhi psikologi para penyumbang setelah melihat jumlah uang yang di sumbangkan oleh donatur sebelumnya, yang tidak jelas kebenarannya. Mereka akan berpikir dua kali jika akan memberikan sumbangan Rp 5.000,- atau bahkan Rp 1.000,-.


Sedangkan para pelaku usaha menggunakan prinsip ini dengan menggunakan nya pada konsumen-konsumen mereka. Pemilik restoran sengaja membuat antrian panjang diluar padahal masih banyak ruang kosong di dalam. Para salesman diajarkan untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama orang terkenal yang menggunakan produk mereka. Sampai seorang konsultan penjualan bernama Cavett Robert menyampaikan prinsip ini kepada para peserta training penjualan yang dibawakan nya. Katanya, “Karena 95 persen orang adalah imitator dan hanya 5 persen yang merupakan inisiator, maka orang akan lebih mudah terbujuk oleh tindakan orang lain dibanding dengan bukti lain yang kita tawarkan kepada mereka”.


Pada dunia pendidikan pernah diadakan penelitian terkait prinsip ini yang dilakukan oleh seorang psikolog bernama Albert Bandura. Bandura mengumpulkan anak-anak yang takut terhadap binatang anjing. Perlakuan yang diberikan adalah anak-anak tersebut diminta untuk melihat seorang anak kecil yang bermain dengan gembira bersama seekor anjing selama 20 menit setiap hari. Penelitian ini menghasilkan perubahan signifikan, dalam empat hari sebanyak 67 persen dari mereka ingin masuk ke arena bermain dan tetap berada disana, bahkan setelah sebulan anak-anak itu telah terbebas dari rasa takut nya terhadap binatang anjing. Yang lebih menakjubkan ternyata tidak harus melihat langsung contoh anak yang berani, namun dengan klip film yang menunjukkan anak-anak berani pun bisa mengubah perilaku mereka.


Pengetahuan menarik yang dapat diambil dari prinsip ini adalah saat anda mengalami kecelakaan atau penyakit mendadak dan membutuhkan bantuan orang lain. Jika tidak ada minimal satu saja seorang inisiator untuk menolong anda, maka kemungkinan besar tidak akan ada yg menolong anda. Cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menunjuk langsung seorang inisiator diantara mereka. Pilihlah salah seorang dari mereka, kemudian katakan langsung pada orang tersebut, “Anda tuan, ya anda yang memakai baju biru, tolong telpon ambulans, saya benar-benar butuh pertolongan”. Penunjukan langsung ini selain menimbulkan efek responsibilitas terhadap orang itu, juga melumpuhkan prinsip pembuktian sosial dari keacuhan orang-orang disekitarnya saat itu. Bahkan bisa membalikkan respon orang-orang di sekitarnya untuk mengikuti pria berbaju biru itu dalam menolong anda.


Pengalaman menarik yang baru saja saya alami adalah saat melihat suara pembaca di salah satu koran nasional. Seorang pembaca yang juga seorang pelanggan kartu selular dari salah satu operator selular di Indonesia mengirimkan keluhannya atas iklan kartu selular itu di televisi. Ia menyebutkan kecewa atas iklan itu dengan alasan tertentu dan memutuskan untuk tidak menggunakan kartu selular itu lagi. Karena saya juga merasa sebagai seorang pelanggan kartu selular itu, prinsip pembuktian sosial bekerja pada diri saya, saya menyetujui pendapatnya dan membuat saya hampir memutuskan untuk tidak menggunakan kartu itu lagi. Hal yang menyadarkan saya adalah karena saya mengetahui adanya prinsip ini, dan ditambah kartu selular saya sudah tersebar ke rekan-rekan saya.


Begitulah menariknya psikologi persuasi, semakin anda ingin mengetahui prinsip-prinsip Psikologi Persuasi lainnya, semakin anda merasa percaya diri untuk melakukan persuasi.

Kamis, 13 November 2008

SERI PSIKOLOGI PERSUASI ( 3 ) - PRINSIP KOMITMEN & KONSISTENSI

Prinsip ketiga dari Psikologi Persuasi menurut Robert B. Cialdini dalam bukunya yang berjudul The Psychologi Influence Of Persuasion adalah apa yang disebut dengan Prinsip Komitmen dan Konsistensi. Untuk menjelaskan prinsip ini ada baiknya kita lihat penelitian Thomas Moriarty seorang Psikolog seperti yang dituliskan Robert B. Cialdini dalam bukunya itu.


Thomas menyamar sebagai seorang pencuri di pantai kota New York untuk melihat apakah mereka yang memergokinya akan mempertaruhkan keselamatan pribadinya untuk menahan perilaku kriminal tersebut. Dalam percobaan tersebut, seorang asisten akan meletakkan selimut sejauh lima kaki di dekat seseorang yang dipilih secara acak. Dan setelah beberapa menit berbaring rileks serta mendengarkan radio mini, asisten tersebut akan bangkit untuk turun ke laut dan meninggalkan selimut tersebut begitu saja. Beberapa menit kemudian, peneliti lain yang berlagak sebagai pencuri akan mendekat, mengambil radio tersebut lalu pergi dengan tergesa-gesa. Apa yang terjadi? Hanya empat orang dari dua puluh orang subjek penelitian yang bereaksi untuk menangkap sang ”pencuri”. Suatu perbedaan yang mencolok terjadi ketika dalam percobaan yang sama ditambahkan suatu perubahan, yaitu sang asisten meminta kepada subjek penelitian untuk memperhatikan barang-barangnya, dan beberapa orang setuju untuk melakukan hal tersebut. Kemudian hasilnya sungguh sangat berbeda. Sembilan belas dari dua puluh orang subjek penelitian bereaksi untuk menangkap ”sang” pencuri bahkan beberapa orang melakukan kontak fisik dengan ”sang” pencuri. Begitulah prinsip komitmen dan konsistensi bekerja. Konteks nya seperti seorang aparat yang merasa lebih bertanggung jawab ketika menggunakan seragam jika dibandingkan dengan ketika tidak berseragam.


Pada aplikasi di bidang sosial, Pemerintah China sangat cerdas menggunakan prinsip ini saat perang Korea. Mereka menggunakan apa yang dinamakan dengan ”Kebijakan Lenin”. Mereka tidak pernah melakukan kekerasan terhadap tawanan mereka. Tentara Amerika yang mereka tawan menjadi akomodatif terhadap Cina karena kebijakan ini. Bahkan kebijakan ini sering membuat mereka menghianati rekannya yang akan melarikan diri. Hal ini disebabkan oleh program yang dilakukan Cina terhadap tawanannya. Tawanan Amerika sering diminta secara berkala untuk membuat pernyataan tertulis yang bersifat anti-Amerika dan pro-Cina. Kelihatannya sederhana, tapi sekali permintaan ini dituruti, maka tawanan itu akan mendapati dirinya dalam kondisi untuk menyetujui permintaan selanjutnya. Mulai dari menuliskan daftar permasalahan yang dialami Amerika, sampai membuat essai tentang keburukan Amerika dan disiarkan melalui radio-radio Cina. Sampai para tawanan itu tiba-tiba mendapati dirinya dalam kondisi yang begitu akomodatif terhadap Cina dan memusuhi Amerika.


Kejadian menarik dari prinsip ini yang diaplikasikan dalam penjualan adalah seperti yang dialami oleh Cialdini berikut ini :

Saat itu bulan Januari dan saya sedang berada di toko mainan terbesar di kota. Setelah membeli begitu banyak hadiah untuk anak saya pada bulan Desember di tempat tersebut, saya bersumpah untuk tidak memasuki tempat itu lagi dalam waktu yang lama. Tapi sekarang saya harus berada disini lagi, bukan hanya sekedar ada, tapi sedang dalam proses membeli mainan mobil balap yang sangat mahal untuk anak saya. Di toko itu tak sengaja saya bertemu dengan tetangga saya, dan dia juga bermaksud untuk membeli hadiah mainan yang sama dengan saya. Anehnya adalah kami hampir tidak pernah bertemu, dan pertemuan kami terakhir kali adalah tepat satu tahun yang lalu di toko itu juga, yaitu pada saat kami hendak membelikan anak-anak kami sebuah mainan robot yang sangat mahal. Kami sama-sama menertawakan ketidaksengajaan ini.


”Tapi ini bukan ketidaksengajaan” katanya.

”Apa maksudmu bukan suatu ketidaksengajaan?”.

”Begini, Pertama apakah anda telah berjanji pada anak anda untuk membelikan mobil balap ini untuk hadiah natal?” tanyanya.

”Iya, anak saya melihat mainan ini di iklan yang ditayangkan di TV sebelum natal tiba, dan saya menyetujui untuk membelinya karena saya pikir ini bukan ide yang buruk.”

”Strike One!” katanya, ”Pertanyaan kedua, ketika anda ingin membelinya sebulan yang lalu, apakah anda mendapati mainan tersebut telah habis di semua toko?” tanyanya lagi.

”Iya betul, semua toko telah mengatakan bahwa mainan mobil balap itu telah habis, dan pihak toko telah memesan kembali namun entah kapan mainan itu akan dikirimkan.”

”Strike Two!” katanya lagi. ”Pertanyaan terakhir, apakah hal yang sama terjadi di tahun lalu dengan mainan robot?”

”Tunggu dulu, memang itu yang terjadi, bagaimana anda dapat mengetahuinya?”

”Ini tidak ada hubungannya dengan supranatural. Saya baru saja mengetahui bagaimana cara beberapa perusahaan mainan besar menggenjot penjualan mereka di Januari dan Februari. Mereka akan memulai jauh sebelum natal dengan iklan besar-besaran di TV untuk beberapa mainan special mereka. Biasanya anak-anak akan meminta mainan special itu menjadi hadiah natal mereka dan menjadikan itu sebagai janji dari orang tua mereka. Disinilah letak kepandaian perusahaan tersebut. Mereka menahan suplai mainan special nya menjelang natal, dan mengganti suplainya dengan mainan lain yang harganya sama, sehingga para orang tua terpaksa mengganti hadiah natal nya dengan mainan pengganti. Kemudian setelah natal, perusahaan mainan kembali memulai iklan untuk mainan special nya seperti sebelum natal dan membuat anak-anak kembali menagih janji orang tuanya untuk membelikan mainan special nya itu. Dan orang tua kemungkinan besar akan kembali ke toko mainan setelah natal untuk membeli mainan special itu sebagai wujud komitmen mereka atas janji yang telah diucapkan sebelum natal.” ujarnya penuh ekspresi.

”Saya akan mengembalikan mainan tersebut sekarang” jawab saya setengah emosi.

”Tunggu, kenapa tadi pagi anda ingin membelinya?.. bukankah karena janji anda pada anak anda?.. lalu sekarang apakah anda akan melanggar janji anda pada anak anda?..”


“Strike Three”

Senin, 10 November 2008

SERI PSIKOLOGI PERSUASI ( 2 ) - PRINSIP RESIPROKAL ( TIMBAL BALIK )


Beberapa tahun yang lalu, seorang profesor sebuah universitas melakukan percobaan kecil. Ia mengirimkan kartu ucapan kecil kepada orang-orang yang tidak dia kenal sama sekali. Walaupun telah memperkirakan adanya reaksi, namun tetap saja respon yang diterimanya luar biasa, kartu ucapan selamat berlibur terus mengalir kepadanya dari mereka yang tidak pernah bertemu atau mendengar darinya. Mayoritas mereka yang mengirimkan kartu ucapan balasan kepadanya tidak pernah mencari tahu siapa si profesor. Mereka menerima kartu ucapan selamat berlibur darinya dan secara otomatis mereka membalas dengan mengirimkan sebuah kartu kepadanya. Meski dilakukan dalam lingkup kecil, penelitian ini menunjukkan aksi dari salah satu senjata pengaruh yang ada di sekitar kita yaitu Prinsip Resiprokal ( Timbal Balik ).


Aturan tersebut menyatakan bahwa kita harus mencoba membalas, dengan balasan yang setimpal, apa yang telah diberikan orang lain kepada kita. Kisah yang menarik dari prinsip ini adalah seperti yang pernah dialami seorang mahasiswi yang ditulis dalam buku The Psychologi Influence Of Persuasion karya Robert B. Cialdini. Kisahnya begini :

“Sekitar satu tahun yang lalu saya tidak dapat menghidupkan mobil saya. Ketika saya terduduk disana, seorang pria datang mendorong mobil saya sampai mesin nya menyala. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya. Dan ketika ia pergi, saya mempersilakannya untuk mampir jika membutuhkan bantuan. Satu bulan kemudian, orang tersebut mengetuk pintu rumah saya dan memohon kepada saya untuk meminjaminya mobil selama dua jam untuk berbelanja. Saya merasakan adanya perasaan wajib membalas budinya, namun juga tidak yakin karena mobil tersebut baru, dan dia terlihat agak terlalu muda. Kemudian, saya dapati ia masih berada dibawah umur dan tidak memiliki asuransi. Walaupun demikian saya meminjamkan juga mobil saya, dan dia menghancurkannya.”


Bagaimana mungkin seorang wanita yang berpendidikan bersedia untuk meminjamkan mobil barunya kepada orang asing yang masih sangat muda hanya karena pemuda tersebut pernah melakukan sebuah jasa kepadanya sebulan yang lalu. Salah satu alasan terpenting yang harus dicermati adalah ketidaknyamanan yang dirasakan mahasiswi tersebut karena ditimbulkan oleh perasaan berhutang.


Organisasi cacat veteran di Amerika pernah menerapkan sistem resiprokal ini. Mereka melaporkan bahwa organisasinya mendapatkan tanggapan dari surat sederhana berisi permohonan sumbangan yang dikirimkan hanya sebesar 18 persen. Akan tetapi ketika surat itu juga menyertakan hadiah yang tidak diminta ( permen, dll ) tingkat kesuksesan nya berlipat ganda hingga mencapai 35 persen dari total surat yang dikirimkan.


Prinsip turunan dari prinsip resiprokal ini adalah prinsip konsesi resiprokal. Untuk lebih jelasnya perhatikan kisah Cialdini ini : ”Suatu hari saya sedang berjalan di trotoar ketika seorang anak berusia sekitar 11-12 tahun mendekati saya. Anak itu memperkenalkan diri dan berkata bahwa dia menjual tiket sirkus tahunan Pramuka yang akan dilaksanakan malam minggu yang akan datang. Anak itu kemudian menanyakan apakah saya bersedia membeli tiket seharga 5 dollar per lembar yang dijualnya. Namun, karena menghabiskan waktu akhir minggu dengan para pramuka adalah prioritas terakhir, maka saya menolak tawaran tersebut. Kemudian anak itu menjawab : ”Baiklah, jika memang anda tidak ingin membeli tiket kami, bagaimana jika anda membeli sebatang coklat kami yang besar?”. ”Harganya hanya satu dollar”. Saya membeli beberapa batang coklat dan seketika saya menyadari bahwa sesuatu yang menarik telah terjadi. Saya sadar bahwa : (a) Saya tidak menyukai coklat batangan. (b) Saya menyukai uang. (c) Saya sedang berdiri dengan beberapa batang coklat yang ditawarkannya. (d) Anak tersebut pergi membawa beberapa dollar uang saya.


Begitulah prinsip konsesi resiprokal bekerja. Kita telah melihat bahwa aturan umumnya adalah bahwa setiap orang yang melakukan sesuatu untuk kita berhak mendapatkan perlakuan serupa sebagai balasannya. Konsekuensi lainnya adalah membuat sebuah konsesi atau kompromi bukan dari timbal balik jasa, melainkan kompromi atas sebuah permintaan yang besar menjadi sebuah permintaan yang lebih kecil. Permintaan anak itu kepada Cialdini untuk membeli coklat seharga satu dollar merupakan bentuk konsesi kepada anak itu. Permintaan itu diajukan sebagai ganti dari permintaan nya untuk membeli sebuah tiket sirkus tahunan seharga 5 dollar. Sebagaimana yang terjadi, prinsip konsesi itu memang ada, terlihat dari kepatuhannya untuk menuruti permintaan anak itu ketika ia mengubahnya menjadi permintaan yang lebih kecil, walaupun sebenarnya ia tidak tertarik kepada satupun diantara dua permintaan yang ditawarkannya. Sekilas prinsip ini mirip dengan prinsip kontras, namun perbedaan nya adalah perbedaan pilihan yang dibuat tidak terlalu mencolok.